MAKNA UPACARA MELASTI DALAM ETIKA HORIZONTAL
Upacara Melasti hampir pasti diadakan setiap tahun menjelang perayaan Hari Raya Nyepi oleh umat Hindu se Indonesia. Selama ini sudah banyak dibahas makna Melasti dalam hubungan vertikal yang terkait dengan Tuhan Yang Maha Esa, namun sangat jarang kita dengar bagaimana makna Melasti dalam kaitannya dengan Etika horizantal dalam kehidupan antar manusia. Inilah alasan saya memberi judul seperti tersebut di atas.
Melasti secara umum adalah suatu upacara simbolis untuk melakukan pembersihan alam semesta (Bhuwana Agung) beserta isinya. Kenapa harus dibersihkan/disucikan? Karena kita akan melaksanakan Catur Brata Nyepi pada hari Nyepi. Diharapkan pelaksanaan Catur Brata Nyepi dapat dilakukan dengan baik dan sempurna, tanpa ada gangguan-gangguan, baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari lingkungan kita.
Dalam Lontar Sang Aji Swamandala disebutkan Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa, letuhing bhuwana. Artinya Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Mahaesa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam.
Lontar Sunarigama yang dinyatakan: ”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara”. Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra.
Apakah Melasti harus ke laut (samudra)? Apakah tidak boleh ke sumber air yang bukan samudra? Hindu sangat flexibel, seperti disebutkan dalam sastra-sastra Hindu bahwa air adalah merupakan alat untuk membersihkan. Jika kita tinggal dipegunungan tidak ada pantai atai laut, maka tidak ada larangan untuk kita melaksanakan melasti di pegunungan asalkan ada sumber air yang kita anggap suci.
Selanjutnya, dalam setiap Melasti kita bersama-sama ke tempat mata air suci (samudra) dengan membawa bermacam-macam benda yang disakralkan seperti : cane, pratima, lelontek/kober, senjata dewata nawa sangga, gong/gamelan diiringi dengan kidung-kidung suci. Semua ini mempunyai makna yang sangat dalam baik secara vertikal kepada Tuhan, maupun secara horizontal kepada sesama manusia.
Cane
Cane ini secara mudah dapat diterjemahkan sebagai suatu harapan agar segala sesuatu yang kita laksanakan dapat berjalan lancar. Terbuat dari sebuah dulang kecil dihiasi dengan sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi perlengkapan lain seperti: Bija, Air cendana dan burat wangi, masing-masing dialasi dengan empat buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula dengan kojong empat buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula ditambah dengan rokok dan korek api sebanyak empat batang. Bunganya ditancapkan menlingkar pada batang pisang dan paling diatas diisi cili atau hiasan-hiasan lainnya. Namun Cane model sekarang sudah banyak modifikasi, bahkan ada yang menambahkan tumpukan kain dsbnya. Cane dipergunakan terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau dasksina linggih. Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat, untuk memohon agar pertemuan berjalan lancar. Jaman dulu orang masih sangat awam tidak bisa membaca dan tidak bisa mengucapkan doa, maka dengan Cane ini saja sesungguhnya mereka sudah berdoa dengan sarana upacara. Sedangkan dijaman maju seperti sekarang sudah sangat lengkap, disamping ada upakaranya juga ada doa/mantra yang dibacakan.
Pratima
Tujuan Melasti adalah pembersihan Bhuawana Agung beserta isinya. Simbol dari Bhuwana Agung adalah Padmasana. Pratima adalah bentuk kecil (miniatur) dari Padmasana. Pratima inilah sebagai simbul alam semesta yang akan kita sucikan di tempat air suci (samudra) atau pada sumber air suci lainnya. Kita tidak membersihkan Tuhan, karena Tuhan sudah bersih adanya, namun karena Tuhan berada (melinggih) di alam semesta (dalam tanda petik di Padmasana atau Pratima), maka secara otomatis secara simbolis kita iring ke tempat melasti. Ada beberapa orang yang mendefinisikan bahwa Melasti adalah suatu upacara untuk membersihkan alat-alat atau sarana upacara saja. Jika hanya membersihkan sarana upacara saja maka rasanya tidak perlu kita nedunang Ida Batara untuk melinggih di Pratima kemudian kita iring ke laut, cukup sarana atau alat-alat atau pratima kosong saja yang kita bawa.. Dengan demikian menurut penulis Melasti adalah Upacara penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit secara luas.
Kober/lelontek
Kober/lelontek Ini mengingatkan manusia agar senantiasa rendah hati tidak boleh sombong terhadap siapapun di dunia ini. Ini tersirat dalam sebuah Purana yang berjudul Arjuna Pramada. Dikisahkan sekali waktu Sri Krisna berjalan-jalan diikuti oleh Arjuna di pinggir pantai Kanyakumari yang dikenal pula dengan nama Tanjung Komorin di ujung Selatan anak benua India atau Bharatawarsa. Disini terlihat ada bekas jembatan, kemudian Arjuna bertanya kpd Krisna : “Ini jembatan apa, kok sudah hancur begini”. Kresna bilang: “Ini jembatan Setubanda, dulu dibangun oleh jutaan wanara yang dipimpin oleh Hanoman dan Sugriwa. Jemtaban ini digunakan melintas oleh Rama waktu menjemput istrinya Dewi Sita di kerajaan Alengka. Raut muka Arjuna kelihatan tidak enak kemudian, lewat kemampuan telepati Kresna memanggil Hanoman yang sudah tua. Dalam sekejap Hanoman datang. Arjuna berkata: “Oh … jembatan seperti ini dibangun oleh jutaan wanara ? Kenapa harus jutaan wanara, kalau saya hanya sendiri saja bisa membuatnya dengan anak panah ini”. Hanoman bilang: “Silahkan tuan buat jembatan sekarang juga, jika sudah selesai nanti saya yang melakukan uji coba”. Dalam sekejap sudah terbentang jembatan buatan dari panah Arjuna. Kemudian Hanoman melakukan uji coba dengan berjalan di atas jembatan tersebut. Tiba-tiba jembatan hambruk : prakkk ….. Raut muka Arjuna sangat malu, ternyata kalah kemampuan dengan Hanoman. Kresna berkata: “Wahai Arjuan, ini suatu pelajaran bahwa manusia tidak boleh sombong. Jahsemat Siddhi mandi mulai saat ini dimanapun ada Yadnya harus menggunakan kober/lelontek yang bergambar wanara, untuk mengingatkan manusia agar tidak sombong.
Senjata Dewata Nawa Sangga
Ini adalah simbol demokrtasi, saling menghargai, tidak boleh memaksakan kehendak. Dewata Nawa Sangga adalah Dewa penjaga 9 penjuru alam, dimana masing-masing penjuru dijaga oleh Dewa yang berbeda. Ini sebuah kesepakatan jaman dulu, dimana banyak sekte yang masuk ke Indonesia, akibatnya sering terjadi pertengkaran antar sekte. Akhirnya disepakati untuk mengadakan pertemuan untuk mencari jalan keluar. Pertemuan tersebut konon diadakan di bukit penanggungan ini. Dari kesepakatan itu bahwa masing-masing sekte/dewa menjaga masing-masing penjuru. Karena Sekte Siwa jumlahnya paling banyak maka dapat tempat di tengah sebagai pemimpin yang lain. Ini tidak ubahnya dengan pemerintahan koalisi yang ada sekarang.
Gong (Panca Gita)
Gong dan suara-suara lain adalah sebagai simbol bahwa kita sebagai manusia harus selalu focus dan serius dalam setiap kegiatan yang kita hadapi. Keseriusan akan dapat mendapatkan hasil yang jauh lebih baik. Ada 5 jenis suara yang harus ada dalam setiap upacara yadnya yaitu: gong, kekawin, genta, mantram dan kentongan. Fungsi suara ini adalah untuk memusatkan pikiran kita, agar lebih focus kepada Ida Hyang Widhi. Secara horizontal kita juga harus selalu focus kepada setiap tindakan yang kita jalankan.
BG.III.35
Sreyan swadharmo wiguna
para dharmat svanus thitat
swa dharme nidhanam sreyah
para dharmo bhaya wahah
Melasti secara umum adalah suatu upacara simbolis untuk melakukan pembersihan alam semesta (Bhuwana Agung) beserta isinya. Kenapa harus dibersihkan/disucikan? Karena kita akan melaksanakan Catur Brata Nyepi pada hari Nyepi. Diharapkan pelaksanaan Catur Brata Nyepi dapat dilakukan dengan baik dan sempurna, tanpa ada gangguan-gangguan, baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari lingkungan kita.
Dalam Lontar Sang Aji Swamandala disebutkan Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa, letuhing bhuwana. Artinya Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Mahaesa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam.
Lontar Sunarigama yang dinyatakan: ”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara”. Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra.
Apakah Melasti harus ke laut (samudra)? Apakah tidak boleh ke sumber air yang bukan samudra? Hindu sangat flexibel, seperti disebutkan dalam sastra-sastra Hindu bahwa air adalah merupakan alat untuk membersihkan. Jika kita tinggal dipegunungan tidak ada pantai atai laut, maka tidak ada larangan untuk kita melaksanakan melasti di pegunungan asalkan ada sumber air yang kita anggap suci.
Selanjutnya, dalam setiap Melasti kita bersama-sama ke tempat mata air suci (samudra) dengan membawa bermacam-macam benda yang disakralkan seperti : cane, pratima, lelontek/kober, senjata dewata nawa sangga, gong/gamelan diiringi dengan kidung-kidung suci. Semua ini mempunyai makna yang sangat dalam baik secara vertikal kepada Tuhan, maupun secara horizontal kepada sesama manusia.
Cane
Cane ini secara mudah dapat diterjemahkan sebagai suatu harapan agar segala sesuatu yang kita laksanakan dapat berjalan lancar. Terbuat dari sebuah dulang kecil dihiasi dengan sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi perlengkapan lain seperti: Bija, Air cendana dan burat wangi, masing-masing dialasi dengan empat buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula dengan kojong empat buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang. Dapat pula ditambah dengan rokok dan korek api sebanyak empat batang. Bunganya ditancapkan menlingkar pada batang pisang dan paling diatas diisi cili atau hiasan-hiasan lainnya. Namun Cane model sekarang sudah banyak modifikasi, bahkan ada yang menambahkan tumpukan kain dsbnya. Cane dipergunakan terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau dasksina linggih. Cane juga digunakan pada rapat-rapat desa adat, untuk memohon agar pertemuan berjalan lancar. Jaman dulu orang masih sangat awam tidak bisa membaca dan tidak bisa mengucapkan doa, maka dengan Cane ini saja sesungguhnya mereka sudah berdoa dengan sarana upacara. Sedangkan dijaman maju seperti sekarang sudah sangat lengkap, disamping ada upakaranya juga ada doa/mantra yang dibacakan.
Pratima
Tujuan Melasti adalah pembersihan Bhuawana Agung beserta isinya. Simbol dari Bhuwana Agung adalah Padmasana. Pratima adalah bentuk kecil (miniatur) dari Padmasana. Pratima inilah sebagai simbul alam semesta yang akan kita sucikan di tempat air suci (samudra) atau pada sumber air suci lainnya. Kita tidak membersihkan Tuhan, karena Tuhan sudah bersih adanya, namun karena Tuhan berada (melinggih) di alam semesta (dalam tanda petik di Padmasana atau Pratima), maka secara otomatis secara simbolis kita iring ke tempat melasti. Ada beberapa orang yang mendefinisikan bahwa Melasti adalah suatu upacara untuk membersihkan alat-alat atau sarana upacara saja. Jika hanya membersihkan sarana upacara saja maka rasanya tidak perlu kita nedunang Ida Batara untuk melinggih di Pratima kemudian kita iring ke laut, cukup sarana atau alat-alat atau pratima kosong saja yang kita bawa.. Dengan demikian menurut penulis Melasti adalah Upacara penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit secara luas.
Kober/lelontek
Kober/lelontek Ini mengingatkan manusia agar senantiasa rendah hati tidak boleh sombong terhadap siapapun di dunia ini. Ini tersirat dalam sebuah Purana yang berjudul Arjuna Pramada. Dikisahkan sekali waktu Sri Krisna berjalan-jalan diikuti oleh Arjuna di pinggir pantai Kanyakumari yang dikenal pula dengan nama Tanjung Komorin di ujung Selatan anak benua India atau Bharatawarsa. Disini terlihat ada bekas jembatan, kemudian Arjuna bertanya kpd Krisna : “Ini jembatan apa, kok sudah hancur begini”. Kresna bilang: “Ini jembatan Setubanda, dulu dibangun oleh jutaan wanara yang dipimpin oleh Hanoman dan Sugriwa. Jemtaban ini digunakan melintas oleh Rama waktu menjemput istrinya Dewi Sita di kerajaan Alengka. Raut muka Arjuna kelihatan tidak enak kemudian, lewat kemampuan telepati Kresna memanggil Hanoman yang sudah tua. Dalam sekejap Hanoman datang. Arjuna berkata: “Oh … jembatan seperti ini dibangun oleh jutaan wanara ? Kenapa harus jutaan wanara, kalau saya hanya sendiri saja bisa membuatnya dengan anak panah ini”. Hanoman bilang: “Silahkan tuan buat jembatan sekarang juga, jika sudah selesai nanti saya yang melakukan uji coba”. Dalam sekejap sudah terbentang jembatan buatan dari panah Arjuna. Kemudian Hanoman melakukan uji coba dengan berjalan di atas jembatan tersebut. Tiba-tiba jembatan hambruk : prakkk ….. Raut muka Arjuna sangat malu, ternyata kalah kemampuan dengan Hanoman. Kresna berkata: “Wahai Arjuan, ini suatu pelajaran bahwa manusia tidak boleh sombong. Jahsemat Siddhi mandi mulai saat ini dimanapun ada Yadnya harus menggunakan kober/lelontek yang bergambar wanara, untuk mengingatkan manusia agar tidak sombong.
Senjata Dewata Nawa Sangga
Ini adalah simbol demokrtasi, saling menghargai, tidak boleh memaksakan kehendak. Dewata Nawa Sangga adalah Dewa penjaga 9 penjuru alam, dimana masing-masing penjuru dijaga oleh Dewa yang berbeda. Ini sebuah kesepakatan jaman dulu, dimana banyak sekte yang masuk ke Indonesia, akibatnya sering terjadi pertengkaran antar sekte. Akhirnya disepakati untuk mengadakan pertemuan untuk mencari jalan keluar. Pertemuan tersebut konon diadakan di bukit penanggungan ini. Dari kesepakatan itu bahwa masing-masing sekte/dewa menjaga masing-masing penjuru. Karena Sekte Siwa jumlahnya paling banyak maka dapat tempat di tengah sebagai pemimpin yang lain. Ini tidak ubahnya dengan pemerintahan koalisi yang ada sekarang.
Gong (Panca Gita)
Gong dan suara-suara lain adalah sebagai simbol bahwa kita sebagai manusia harus selalu focus dan serius dalam setiap kegiatan yang kita hadapi. Keseriusan akan dapat mendapatkan hasil yang jauh lebih baik. Ada 5 jenis suara yang harus ada dalam setiap upacara yadnya yaitu: gong, kekawin, genta, mantram dan kentongan. Fungsi suara ini adalah untuk memusatkan pikiran kita, agar lebih focus kepada Ida Hyang Widhi. Secara horizontal kita juga harus selalu focus kepada setiap tindakan yang kita jalankan.
BG.III.35
Sreyan swadharmo wiguna
para dharmat svanus thitat
swa dharme nidhanam sreyah
para dharmo bhaya wahah
Lebih baik mengerjakan pekerjaan sendiri dari pada mengerjakan pekerjaan orang lain walaupun dapat dilakukan dengan baik, lebih mati dalam tugas sendiri dari pada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya. (Titut Budiartha)
Blogger Comment