YAJNA SIMBOLIS DAN YAJNA REALISTIS
Sebagai
umat Hindu, istilah “Yajna” sudah sangat sering kita dengar. Setiap mendengar
kata Yajna pikiran kita terbayang akan adanya sesajen, bau dupa, mantram
Pandita, suara Genta dan sebagainya. Hampir selalu kita membayangkan bahwa
Yajna itu adalah Upacara/Ritual.
Jika
kita mengacu pada definisi Yajna ( korban suci yang tulus ikhlas) mestinya
tidaklah selalu Yajna identik dengan sesajen. Memberi bantuan kepada yang tidak
mampu disertai dengan tulus ikhlas sesungguh juga Yajna walaupun tidak ada
sesajennya.
Dari
pada kita berpikir yang macam-macam, sebaiknya kita coba telusuri dalam sastra
Weda, yang bagaimana saja disebut Yadnya.
Hasil
penelusuran dalam Sastra Weda maka ditemukan 2 jenis Yajna yaitu Yajna yang
identik dengan Upacara/Ritual yang dalam hal ini saya sebut Yajna Simbolis, dan
Yajna yang tidak menggunakan sesajen tapi merupakan pengorbanan langsung yang
tulus ikhlas, yang dalam hal ini saya sebut Yajna Realistis.
Kalau
kita mencari istilah Yajna dalam kitab-kitab atau sastra-sastra suci Hindu,
maka akan dapat kita temui pada beberapa kitab/lontar misalnya : Reg Veda bagian Satapatha Brahmana, Manawa
Dharma Sastra, Gautama Dharma Sastra, Lontar Korawa Srama, Lontar
Singhalanghyala, Lontar Agastya Parwa, dsbnya. Namun hampir semua
kitab/lontar tersebut menyebutkan bahwa Yajna itu berupa korban suci yang
berhubungan dengan upacara/ritual atau simbolis.
Hanya
satu sloka yang kami temui istilah Yajna yang memiliki pengertian yang
realistis atau nyata, yaitu terdapat pada Bhagawad
Gita IV.28. Disini disebutkan bahwa Yajna ada 5 (lima) macam yang disebut
dengan Panca Yajna, yang terdiri dari :
- Drvya Yajna, yaitu beryadnya dengan korban suci berupa harta benda (dana punia)
- Tapa Yajna, yaitu dengan mengendalikan indria.
- Yoga Yajna, yaitu dengan melakukan Astangga Yoga untuk mencapai hubungan dengan Tuhan.
- Swadyaya Yajna, yaitu pengorbanan berupa apa yang kita miliki yang ada dalam diri kita sendiri seperti : tenaga (ngayah), nyawa (dalam perjuangan), darah (dalam perjuangan), ginjal atau bagian tubuh lain yang disumbangkan untuk keselamatan orang lain dsbnya
- Jnana Yajna, yaitu beryajna dengan ilmu pengetahuan.
Jika
mengacu pada Sloka Bhagawad Gita IV.28 ini,
maka sesungguhnya Dana Punia adalah bagian dari Yajna yaitu Drvya Yajna. Jika
demikian orang yang beryajna berupa Jnana (pengetahuan) tidak pas jika disebut
berdana-punia pengetahuan, lebih cocok jika disebutkan beryajna ilmu
pengetahuan. Namum rasanya istilah tersebut tidaklah terlalu penting untuk
dibahas.
Yang
lebih penting untuk disoroti, misalnya orang yang memiliki tenaga cukup kuat,
kemudian dia beryajna tenaga (ngayah) maka sesungguhnya sama nilainya dengan
orang yang berdana-punia artha benda (drvya yajna). Maka sesungguhnya ber Yajna
itu tidaklah semata-mata milik orang ber-artha saja. Demikian juga orang yang
memiliki ilmu pengetahuan, katakanlah dia pintar membuat klatkat, kemudian
mampu mengajarkan kepada orang lain, sesungguhnya dia sudah melakukan Jnana
Yajna dan memiliki nilai yang sama Drvya Yajna (Dana-punia). Apalagi bagi para
pahlawan jaman dulu yang mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan negara ini,
sungguh Swadyaya Yajna yang sangat tinggih nilainya.
Hanya
saja di Jaman Kali Yuga ini, orang selalu berorientasi dengan Uang/Artha,
seakan-akan mereka yang melakukan Drvya Yajna mendapat tempat yang paling
tinggi, bahkan mungkin mendapat penghormatan tertinggi masyarakat. Orang sering
berkata “ah ini kan jaman kali yuga, wajarlah demikian”. Sesungguhnya pandangan
yang demikian sangat keliru, seakan-akan kita pasrah dengan kondisi Jaman Kali
Yuga ini.
Coba
kita flashback sedikit. Catur Yuga terdiri dari : Krtha Yuga, Trtha Yuga,
Dwapara Yuga dan Kali Yuga, konon yang paling sempurna adalah Kertha Yuga.
Jadi
pandangan dan acuan kita sesungguhnya adalah Jaman Kertha Yuga. Artinya
bagaimana kita mencoba memberi penilaian yang sama antara Yajna-yajna yang
dilakukan, apapun bentuknya, tidak pasrah pada jaman Kali Yuga ini. Jika kita
pasrah dengan kondisi Kali Yuga dimana kita lebih menghormati orang yang melakukan
Drvya Yajna, sesungguhnya kita tidak miliki nilai tambah. Jika kita mampu
memberi penilaian yang sama diantara Yajna-yajna yang ada, sesungguhnya tidak
mendapatkan nilai lebih karena tidak terhanyut dengan kondisi KaliYuga ini.
Jika
kita hanya memberi penghargaan kepada yang melakukan Drvya Yajna saja,
seakan-akan sorga itu hanya milik orang kaya artha saja, sebuah penilaian yang
tidak fair.
Himbauan
kepada para pantia Pembangunan Pura maupun Pembangunan yang terkait dengan
keumatan, hendaknya mencoba bersikap netral terhadap para umat yang ber-Yajna,
apapun bentuk Yadjna nya : Uang, barang, tenaga, pengorbanan pisik, sehingga
orang yang tidak ber-artha merasa ikut memiliki hasil pembangunan. Ingatlah
bahwa beragama itu bukan semata-mata hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
kaya.
Bahkan
menurut Sarasamuscaya sloka 337, sumber kegelapan terbesar dilakukan oleh 3 hal
: Danamada (kegelapan bagi orang-orang yang ber-artha), Jnana Mada (kegelapan
orang-orang yang berilmu) dan Abijamana (kegelapan orang-orang yang memiliki
kedudukan)
Mudah-mudahan
tulisan ini ada manfaatnya (Titut Budiartha)